A.
PENDAHULUAN
Banyak
perempuan mempunyai masalah dalam proses berkemih. Seperti merasakan keluarnya
urin dalma bentuk beberapa tetes pada saat batuk atau jogging/berlari. Bahkan
ada juga yang mengalmai kesulitan menahan urin sehingga keluar sesaat sebelum berkemih.
Semua gejala ini disebut dengan inkontinensia urin (Meneffe SA,
2002) .
Di
masyarakat Barat, sebagian besar studi epidemiologis mengindikasikan prevalensi
sebesar 25-55%. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara
15-30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di
rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30%saat berumur 65-74 tahun.
Banyaknya
prevalensi penderita inkontinensia urin pada lansia merupakan salah satu hal
yang menunjukkan bahwa inkontinensia urin bukanlah suatu keadaan fisiologis
dari proses penuaan. Hal inipun dialami oleh Ny. AQ (56 th) yang telah
mengalami gangguan berkemih (urgency) selama 5 bulan berhubungan dengan
inkontinensia urin. Ny. AQ memilki riwayat pernah mengalami Histerektomi.
Pekerjaannyapun sebagai seorang sales dan terlibat dalam aktivitas mengemudi
secara ekstensive.Ia mengkonsumsi kopi dan minuman bersoda serta berkafein
uuntuk mencegah kantuk.
Oleh
sebab itu dalam paper ini akan membahas mengenai masalah yang dialami oleh
Ny.AQ terkait dengan inkontinensia urin. Hal lain yang akna dibahas ialah
mengenai penatalaksanaannya serta asuhan keperawatan seperti apa yang akan
diberikan kepada Ny.AQ.
B.
PEMBAHASAN
Inkontinensia
urin merupakan keyidakmampuan untuk mengontrol pengeluaran urin secara volunter
(Smeltzer, 2002) . Inkontinensia urin dapat mengakibatkan
ganguan hygene dan sosial. Inkontinensia urin dapat terjadai pada derajat
ringan , yaitu keluarnya urin hanya beberapa tetes sampai keadaan berat san
sangat mengganggu penderita. Pengalaman tersebut terutama lebih banyak dialami
oleh wanita dengan usia menopause (Suparman & Rompas, 2008) . Inkontinensia urin
merupakan suatu gejala dan bukan merupakan penyakit.
a.
Jenis-jenis
Inkontinensia Urin
1). Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin
tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih
tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya
juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat
memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten,
seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya Resistensi
urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan
inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan
urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering
menyebabkan inkontinensia akut (Braunwald, 2000) .
Berbagai kondisi yang
menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti
glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat
menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan
terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist
adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan
diuretic (Braunwald, 2000) .
Untuk mempermudah
mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di
bawah ini :
D à
Delirium
R à
Restriksi mobilitas, retensi urin
I à
Infeksi, inflamasi, Impaksi
P à
Poliuria, pharmasi
2). Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin
persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi,
patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis
lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis (Braunwald, 2000) .
Kategori klinis meliputi :
a. Inkontinensia
urin stress :
Tak terkendalinya aliran urin akibat
meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau
berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan
penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih
sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat
kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi.
Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri.
Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak (Braunwald, 2000) .
b. Inkontinensia
urin urgensi :
Keluarnya urin secara
tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin
jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor
overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan
inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia
dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di
toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa
inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering
inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi
adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien
mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih
sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow
dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena
dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat
(Braunwald, 2000) .
c. Inkontinensia
urin overflow :
Tidak terkendalinya pengeluaran urin
dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan
oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada
diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak
berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya
mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah
penuh (Braunwald, 2000) .
d. Inkontinensia
urin fungsional :
Memerlukan identifikasi semua komponen
tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran
kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat,
faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan
faktor psikologis (Braunwald, 2000) .
Seringkali inkontinensia urin pada
lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu
tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi
semua komponen (Braunwald, 2000) .
b. Faktor Resiko Inkontinensia Urin
1). Usia
Prevalensi
inkontinensia meningkat bertahap selama masa dewasa muda. Puncak yang lebar
tampak pada usia pertengahan dan kemudian setelah usia 65 tahun (Ichsan, 2010) .
2). Ras
Dahulu
wanita kaukasia diyakini lebih beresiko mengalami inkontinensia urin daripada
ras lain. Namu, wanita Afrika-Amerika dipercaya berprevalensi lebih tinggi pada
urge incontinence. Namun laporan
tersebut tidak berdasar populasi, dan dengan demikian perbedaan ras bukanlah
perkiraan terbaik (Ichsan, 2010) .
3). Obesitas
Beberapa
menunjukkan bahwa peningkatan body mas
index (BMI) merupakan faktor resiko independen inkontinensia urin. Secara
teoritis peningkatan tekanan intraabdominal yang bersamaan dengan peningkatan
BMI menghasilkan tekanan intravesikal yang secara proporsional lebih tinggi.
Tekanan yang lebih tinggi ini menimbulkan urethral
clossing pressure dan menjurus pada inkontinensia urin (SW, Jy, Kh, & et.al, 2007) .
4). Menopause
Pada
masa menopause, produksi hormon estrogen berkurang. Estrogen mempengaruhi
fungsi ureter, uretra, serta kandung kemih.Penurunan hormon ini disebabkan oleh
proses penuaan pada ovarium. Penurunan estrogen diduga ikut berperan dalam
perubahan struktur dan fungsi pada dinding uretra dan kandung kemih yang dapat
menyebabkan berbagai keluhan seperti inkontinensia, peningkatan frekuensi
berkemih, nokturia, dan kesulitan berkemih lainnya. Selain itu, pengeruh
estrogen menyebabkan terjadinya kelemahan pada otot-otot pengontrol proses
berkemih (Suparman & Rompas, 2008) .
5). Kelahiran dan kehamilan
Banyak
studi menemukan bahwa wanita para memiliki prevalensi inkontinensia urin lebih
besar dibandingkan dengan yang nullipara. Pengaruh dari melahirkan anak
terhadap kejadian inkontinensia dapat timbul dari luka langsung pada otot-otot
pelvis dan perlekatan jaringan ikat. Sebagai tambahan, kerusakan syaraf dari
trauma atau ketegangan yang ada dampak berdampak pada disfungsi otot pelvis (Ichsan, 2010) .
6). Kebiasaan Merokok
Dan penyakit Paru Kronis
Kebiasaan
merokok didentifikasikan sebagai faktor resiko independen inkontinensia urin
pada beberapa studi. Salah satu dari tersebut menyebutkan bahwa baik yang
perokok maupun mantan perokok tercatat memiliki rseiko 2-3 kali lipat dibanding
dengan yang bukan perokok. Secara teoritis, kenaikan persisten tekanan
intraabdominal yang timbul karena batuk kronis perokok dan sintesis kolagen,
dapat diturunkan dengan efek antikolinergik (Ichsan, 2010) .
7). Histerektomi
Istilah
histerektomi berasal dari bahasa latin histeria yang berarti kandungan, rahim,
atau uterus, dan ectomi yang berarti memotong. Jadihisterektomi adalah suatu
prosedur pembedahan mengangkat rahim yang dilakukan oleh ahli kandungan (Friedman, Borten, & Chapin, 1998) .
Histerektomi
merupakan proses pembedahan untuk mengangkat uterus. Jenis histerektomi
dibedakan menjadi 3 yaitu: histerektomi subtotal, histerektomi total, dan
salpingoooforektomi bilateral. Histerektomi subtotal adalah proses pembedahan
untuk mengangkat bagian uterus. Histerektomi total adalah proses pembedahan
untuk mengangkat uterus dan serviks. Sementara salpingoooforektomi bilateral adalah proses pembedahan untuk
mengangkat tuba fallopi dan ovarium secara bilateral, atau kedua sisi. Jenis
histerektomi ini dilakukan dengan indikasi malignan, jadi jika seorang individu
mengalami kanker maka tindakan
histerektomi yang dilakukan yaitu histerektomi total, dan salpingoooforektomi.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari histerektomi salah satumya adalah trauma
saraf. Trauma saraf ini dapat menyebabkan kehilangan sementara tonus kandung
kemih atau atoni kandung kemih (Smeltzer, 2002) .
Terdapat beberapa
indikasi dilakukannya histerektomi, antara lain:
a. Ruptur
uteri
b. Perdarahan
yang tidak dapat dikontrol dengan cara-cara yang ada. Misalnya:
1. Atoni
uteri
2. Afibrinogenemia
atau hipofibrinogenemia pada solusio plasenta dan lainnya
3. Couvelaire
4. Arteri
uterina terputus
5. Plasenta
inkreta dan perkreta
6. Hematoma
yang luas pada rahim
c. Infeksi
intrapartal berat
d. Pada
keadaan ini biasanya dilakukan operasi Porri, yaitu uterus dengan isinya
diangkat sekaligus
e. Uterus
miomatus yang besar
f. Kehamilan
janin dalma rahim dan misssed abortion dengan kelainan darah
g. Kanker
leher rahim
Histerektomi memilki
beberapa jenis yang berebeda, antara lain:
a. Histerektomi
Parsial
Pada jenis ini rahim
diangkat, tetapi mulut rahim (serviks) tetap dibiarkan.
b. Histerektomi
Total
Pada jenis ni rahim dan
mulut rahim diangkat secara keseluruhan. Keuntungan jenis ialah ikut
diangkatnya serviks yang menjadi sumber terjadinya karsinoma dan prekanker
c. Histerektomi
Dan Salfingo-ooforektomi bilateral
Histerektomi ini
mengangkat uterus, mulut rahim, mulut rahim, kedua tuba falopi, dan kedua
ovarium. Pengangkatan ovarium menyebabkan penderita seperti menopause meskipun
usianya masih muda.
d. Histerektomi
radikal
Histerektomi ini
mengangkat bagian atas vagina, jaringan dan kelenjar limfe disekitar kandungan.
Selain itu terdapat pula konsumsi obat-obat dapat
mengakibatkan inkontinensia urin. Obat-obatan yang apabila dikonsumsi dalam
jangka panjang dapat membuat seseorang terkena inkontinensia, obat tersebut
antara lain :
1. Obat
hipertensi
Obat hipertensi jenis alpha-blocker
seperti doxazosi mesylate, prazosin hidroklorida,
terazosin hydrochloride beresiko mengalami inkontinensia karena obat tersebut
tidak hanya bekerja untuk menurunkan tekanan darah dengan merelaksasikan
dinding pembuluh darah tetapi juga merelaksasikan otot vesika urinary sehingga
memungkinkan urin keluar tanpa sengaja ketika bersin, batuk, atau tertawa.
2. Antidepresan
Golongan obat ini menghambat
neurotransmitter seperti nortriptylene, amitriptyline, desipramine, benztropine, haloperidol dan risperidone yang dapat
mempengaruhi elastisitas kandung kemih sehingga urin terus memasuki kandung
kemih, yang menyebabkan inkontinensia.
3.
Dekongestan dan antihistamin
Obat dengan kandungan
zat aktif seperti pseudoefedrin, diphenhydramine dapat memicu kontraksi
sfingter uretra, menyebabkan retensi urin, yang pada wanita sering disertai
dengan inkontinensia overflow mendadak.
4.
Obat penenang dan obat tidur
Beberapa obat
penenang atau tidur seperti Ativan, Valium, Dalmane, Lunesta, Ambien, diazepam,
flurazepam, lorazepam, eszopiclone dan zolpidem dapat menjadi pemicu terjadinya
inkontinensia karena dapat memperlambat reflex sehingga kesulitan untuk
mengetahui adanya sinyal untuk berkemih.
c.
Uji
Diagnostik
Menurut Ouslander, tes
diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien
dan menentukan tipe inkontinensia.
1.
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan
dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar
melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila
sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
2. Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi
adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti
hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik
lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes
lanjutan tersebut adalah:
.
Tes laboratorium tambahan seperti kultur
urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.
a. Tes
urodinamik à
untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
b. Tes
tekanan urethra à mengukur tekanan di dalam urethra saat
istirahat dan saat dianmis.
c. Imaging
à
tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
3.
Pemeriksaaan Uretrosistokopi
Digunakan
untuk mengetahui mukosa kandung kemih dan uretra, serta kemungkinan adanya
atrifi polip, radang, divertikel, keganasan, sekaligus ,emilai kapasitas
kandung kemih (Suparman & Rompas, 2008) .
4.
Intravenous Pielogram
Digunakan
untuk urge inkontinensia dengan mendeteksi abnormalitas struktur uretra:
penyempitan uretra, pengosongan kandung kemih tidak lengkap (Suparman & Rompas, 2008) .
5.
USG (ultrasonograf)
USG
digunakan untuk mengidentifikasiakn kelainan pada leher kandung kemih dan juga untuk
mendiagnosa instabilitas otot detrusor (Suparman & Rompas, 2008) .
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin
menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis,
mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot
pelvis dan pembedahan.
Dari
beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang
dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan,
selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari
timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran
kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :
.
Melakukan latihan menahan kemih
(memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi
sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan
keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih
pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
a. Membiasakan
berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
b. Promted
voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka
serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik
ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
c. Melakukan
latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut
adalah dengan cara :
1). Berdiri di lantai
dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul
digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan
berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
2). Gerakan seolah-olah
memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar
panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
3. Terapi
farmakologi
. Obat-obat
yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti
Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
a.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa
adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
b.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik
agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
4. Terapi
pembedahan
Terapi
ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi
urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
5. Modalitas
lain
Sambil
melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia
urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami
inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet
seperti urinal, komod dan bedpan.
a.
Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun
pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia
urin. Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka
lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni
keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan
kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
b.
Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin
karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan
batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat
yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini
digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik
ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
c. Alat
bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia
lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu
tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan
kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.
e.Pengaruh Inkontinensia Urin
Terhadap Penderita
1. Pengaruh
emosional
Seringkali wanita yang
mengalami inkontinens sering kali mengalami depresi karena mereka merasakan
kesendirian dan merasa hina dengan dirinya. Keluarnya urin sacara tidak
sengaja
2. Gangguan
terhadap kesimpulan sehari-hari
Merasakan basah pada
celana dan bau menyebabkan penderita menarik diri dari kehidupan sosial.
Penderita cenderung lebih suka menyendiri dan bahkan akan berhenti dari
pekerjaan yang sedang digeluti.
3. Pengaruh
Spesifik
1).
Bila inkontinensia yang berat penderita memerlukan pemasangan kateter permanen,
sehingga mobilitas penderita terganggu.
2).
Inkontinensia membuat hidup penderita menjadi tidak bebas dan terikat dengan
orang lain
3).
Pada penderita yang sering mengalami jatuh dan kecelakaan. Hal ini berkaitan
dengan keadaan dimana penderita tergesa-gesa untuk mencapai toilet sehingga
bila tidak hati-hati bisa jatuh dan mengalami kecelakaan.
C.
ANALISIS
KASUS
Berdasarkan
kasus Ny. AQ dapat diketahui bahwa ia mengalami inkontinensia jenis Stress. Hal
ini dapat diketahui karena ia termasuk pada obese moderet serta pekerjaannya
yang sebagai pengemudi. Kedua hal tersebut dapat meningkatkan tekanan
intraabdominal sehingga meningkatkan tekanan intravesikal yang akan menyebabkan
tereganggangnya otot detrusor sehingga keluarlah urin.
Apabila
melihat dari usia Ny. AQ, maka ia dapat dikategorikan sebagai seorang lansia.
Pada pembahasan diatas diketahui bahwa pada lansia terjadi penurunan produksi
hormon estrogen. Hormon estrogen bekerja pada organ sasaran melalui reseptor
estrogen ά dan β. Jaringan yang memilki reseptor estrogen ά dan β adalah kulit,
otak, tulang, uterus, vesika urinaria, uretra, ovarium, kardiovaskuler, dan
payudara.Jaringan yang hanya memiliki reseptor estrogen β adalah traktus
gastrointestinal, sedangkan jaringan yang hanya memilki reseptor ά adalah
hepar. Interaksi esterogen dengan reseptornya akan menghasilkan proses
anabolik. Akibatnya bila terjadi penurunan estrogen terutama pada traktus
urinarius perempuan menopause akan perubahan struktur dan fungsi. Estrogen dapat
mempertahankan kontinensia dengan meningkatkan resistensi uretra, meningkatkan
ambang sensoris kandung kemih, dan meningkatkan sensitivitas ά adreno reseptor
pada otot polos uretra (Suparman & Rompas, 2008) .
Hasil
pemeriksaan vagina yang dilakukan oleh Ny. Aq menyatakan bahwa ia mengalmai
atrofi vagina, hal ini pula merupakan salah satu dampak dari penurunan kadar
estrogen akibat menopause. Dinding vagina akan menipis, dan terjadi atrofi
kelenjar vagina, sehingga lubrikasi berkurang dan menyebabkan dispareuni.
Estrogn mempengaruhi mukosa uretra, otot polos dan tonus alfa adrenergik.
Ny.
AQ juga memilki riwayat histerektomi yang memperparah keadaannya saat ini. Pembedahan histerektomi dapat mengakibatkan
trauma lokal jaringan sekitar yang akan mengakibatkan terjadinya respon tubuh
berupa edema dan inflamasi. Adanya respon tubuh tersebut akan menghambat aliran
urin ke saluran kemih yang akan mengakibatkan penurunan keelastisitasan dari
otot panggul dan sfingter. Penurunan keelastisitasan ini akan berakibat pada
penurunan kontrol pengeluaran urin.
Berdasarkan
kasus tersebut dapat dianalisis bahwa kemungkinan histerektomi yang didapatkan
oleh Ny AQ adalah histerektomi total dan salpingoooforektomi bilateral karena
Ny AQ menderita kanker rahim atau kondisi malignan. Pengangkatan pada uterus,
serviks, tuba falopi, dan ovarium membuat tubuh Ny AQ kekurangan hormon
reproduksi yang salah satunya adalah hormon estrogen. Hormon estrogen merupakan
hormon reproduksi yang dihasilkan oleh ovarium, dan berfungsi untuk pembelahan
sel serta perkembangan genitalia eksternal
Hal
yang memparah inkontinensia urin pada Ny. AQ ialah pola hidupnya yang sering
mengkonsumsi minuman berkafein. Kefein merupakan zat adiktif dalam kopi. Kefein
dapat menimbulkan kontraksi otot polos (otot detrusor) sehingga mendesak urin
untuk keluar. Selain itu, kefein merupakan diuretik yang mengakibatkan
penurunan reabsorpsi air yang berakibat pada meningkatnya volume urin.
Salah
satu penatalaksanaan yang dapt diberikan kepada Ny.AQ adalah dengan terapi
estrogen dan progesteron (terapi sulih hormon). Terapi sulih hormon atau hormone replacement therapy merupakan
terapi menggunakan hormon yang diberikan untuk mengurangi efek defisiensi
hormon. Pemberian hormon (estrogen, progesteron, atau keduanya) pada wanita
pascamenopause atau pada wanita yang ovariumnya telah diangkat, untuk
menggantikan produksi estrogen oleh ovarium.
Namun, pada kasus yang dialami oleh Ny. AQ, ia belum mendapatkan terapi
hormone. Hal ini mengakibatkan adanya atrofi pada genitalia eksternanya dan
juga mempengaruhi seksualnya.
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA NY.AQ
DENGAN
INKONTINENSIA URIN
I. PENGKAJIAN
A. Identitas
Nama : Ny. AQ
Umur : 56 tahun
Jenis
Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Sales dan Terlibat dalam
aktivitas mengemudi
B. Data Yang Diperoleh
1.
Ny. AQ mengalami gangguan berkemih
(urgency) selama 5 bulan berhubungan dengan inkontinensia
2.
Ny. AQ tidak mengalami Dysuria,
hematuria, fecal urgency atau fecal incontinence
3.
Tidak ditemukan adanya infeksi pada
vesika urinaria
4.
Ny. AQ tidak sedang mengkonsumsi
obat-obatan tertentu secara teratur
5.
Ny. AQ tidak mengalami gangguan
neurologis baik lokal maupun general
6.
Ny. AQ memilki riwayat histerektomi ,
namun ia belum mendapatkan terapi hormon pengganti
7.
Ny. AQ belum aktif secara seksual
8.
Ny. AQ mengkonsumsi kopi dan minuman
bersoda berkafein unutuk menghilangkan rasa kantuknya. Ia jarang minum air
putih
9.
Pada pemeriksaan fisik pada abdomen
terdapat obese moderet
10.
Pada pemeriksaan vagina menunjukkan
adanya atrofi pada genitalia eksterna dan jaringan vagunal
11.
Tidak ditemukan adanya enterocele, vault
prolaps, atau rectocele
12.
Kemampuan untuk mengontraksikan otot
pelvis lemah dan tidak bisa mempertahankannya.
C.
Analisis
Data
Simptom
|
Problem
|
Etiologi
|
DO:
-Ny.
AQ mengalami obese moderet
-Memiliki
riwayat histerektomi
-Terjadi
atrofi genitalia eksterna akibat tidak dilakukannya terapi hormon
DS:
Ny.AQ
menagatakan gangguan berkemih
|
Inkontinensia
Stress
|
-Tekanan
intraabdominal tinggi
-kelemahan
otot dasar panggul
|
DO:
Riwayat
histerektomi
DS:-
|
Harga
Diri Rendah: Situasional
|
Gangguan
Citra Tubuh
|
D.
Diagnosa
Keperawatan
1. Inkontinensia
stress b.d tekanan intraabdominal tinggi dan kelemahan otot panggul
2. Harga
diri rendah b.d gangguan citra tubuh
E.
NCP
NOC
|
NIC
|
Setelah
dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan pasien mampu
mengontrol eliminasi urin.
|
1. Latihan
otot dasar panggul (Kegel exercise)
2. Perawatan
inkontinensia urin
3. Lakukan
Bladder Training
4. Batasi
konsumsi kafein
5. Ajarkan
pasien memakai obat-obatan oral/topikal (antikolinergik)
6. Bantu
pasien unutuk memakai pembalut yang sesuai untuk jangka pendek
|
D.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Ny. AQ mengalami inkontinensia urine
jenis stress. Inkontinensia urine merupakan ketidakmmapuan untuk mengontrol
pengeluaran urin. Inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi inkontinensia urin
stress, overflow, urge, dan fungsional. Penatalaksanna yang dapat dilakukan
untuk mengatasi masalah pada Ny. AQ ia;ah dengan terapi hormon. Hal ini
dikarenakna Ny. AQ sudah manopause dan juga memilki riwayat histerektomi yang
mengakibatkan penurunan produksi estrogen . Selain itu, Ny AQ perlu membatasi
konsumsi minuman berkafein dan bersoda unutuk mengurangi jumlah volume urin.
Karena kafein merupakan diuretik alami bagi tubuh yang dapat menurunkan
reabsorpsi cairan tubuh.
E.
REFERENSI
Braunwald, e. (2000). Harrison Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam, edisi 13, volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Friedman, Borten, & Chapin.
(1998). Seri skema diagnosa dan penatalaksanaan ginekologi edisi 2.
JakartaBina Rupa Aksara.
Ichsan, B. Z. (2010). Inkontinensia
urin. Surakarta: FK UNS.
Meneffe SA, W. L. (2002).
Inkontinence, Prolaps and disorder of the pelvic floor, in: Berek JS< Adashi
EY, Hillard PA, Novak's Gynecology. 12th ed. Novak's Gynekology , 654-84.
Smeltzer, s. C. (2002). Buku
ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.
Suparman, E., & Rompas, J.
(2008). Inkontinensia urin pada perempuan menopause. Maj Obstet Ginekol
Indones , XXXII (1), 48-54.
SW, B., Jy, K., Kh, R., &
et.al. (2007). Relationship of urodynamic parameters and obesity in women with
stress urynary incontinence. N EngJ Med , XXI.