Sabtu, 25 Mei 2013

INKONTINENSIA URINE PADA NY.AQ


A.   PENDAHULUAN

Banyak perempuan mempunyai masalah dalam proses berkemih. Seperti merasakan keluarnya urin dalma bentuk beberapa tetes pada saat batuk atau jogging/berlari. Bahkan ada juga yang mengalmai kesulitan menahan urin sehingga keluar sesaat sebelum berkemih. Semua gejala ini disebut dengan inkontinensia urin (Meneffe SA, 2002).
Di masyarakat Barat, sebagian besar studi epidemiologis mengindikasikan prevalensi sebesar 25-55%. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15-30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30%saat berumur 65-74 tahun.
Banyaknya prevalensi penderita inkontinensia urin pada lansia merupakan salah satu hal yang menunjukkan bahwa inkontinensia urin bukanlah suatu keadaan fisiologis dari proses penuaan. Hal inipun dialami oleh Ny. AQ (56 th) yang telah mengalami gangguan berkemih (urgency) selama 5 bulan berhubungan dengan inkontinensia urin. Ny. AQ memilki riwayat pernah mengalami Histerektomi. Pekerjaannyapun sebagai seorang sales dan terlibat dalam aktivitas mengemudi secara ekstensive.Ia mengkonsumsi kopi dan minuman bersoda serta berkafein uuntuk mencegah kantuk.
Oleh sebab itu dalam paper ini akan membahas mengenai masalah yang dialami oleh Ny.AQ terkait dengan inkontinensia urin. Hal lain yang akna dibahas ialah mengenai penatalaksanaannya serta asuhan keperawatan seperti apa yang akan diberikan kepada Ny.AQ.   

B.    PEMBAHASAN
Inkontinensia urin merupakan keyidakmampuan untuk mengontrol pengeluaran urin secara volunter (Smeltzer, 2002). Inkontinensia urin dapat mengakibatkan ganguan hygene dan sosial. Inkontinensia urin dapat terjadai pada derajat ringan , yaitu keluarnya urin hanya beberapa tetes sampai keadaan berat san sangat mengganggu penderita. Pengalaman tersebut terutama lebih banyak dialami oleh wanita dengan usia menopause (Suparman & Rompas, 2008). Inkontinensia urin merupakan suatu gejala dan bukan merupakan penyakit.
a.    Jenis-jenis Inkontinensia Urin
1).  Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut (Braunwald, 2000).
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic (Braunwald, 2000).
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini :
D à Delirium
R à Restriksi mobilitas, retensi urin
I à Infeksi, inflamasi, Impaksi
P à Poliuria, pharmasi
2).   Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis (Braunwald, 2000).
Kategori klinis meliputi :
a.  Inkontinensia urin stress :
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak (Braunwald, 2000).

b.  Inkontinensia urin urgensi :
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat (Braunwald, 2000).
c.  Inkontinensia urin overflow :
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh (Braunwald, 2000).
d. Inkontinensia urin fungsional :
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis (Braunwald, 2000).
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen (Braunwald, 2000).

b.    Faktor Resiko Inkontinensia Urin
1). Usia
Prevalensi inkontinensia meningkat bertahap selama masa dewasa muda. Puncak yang lebar tampak pada usia pertengahan dan kemudian setelah usia 65 tahun (Ichsan, 2010).
2). Ras
Dahulu wanita kaukasia diyakini lebih beresiko mengalami inkontinensia urin daripada ras lain. Namu, wanita Afrika-Amerika dipercaya berprevalensi lebih tinggi pada urge incontinence. Namun laporan tersebut tidak berdasar populasi, dan dengan demikian perbedaan ras bukanlah perkiraan terbaik (Ichsan, 2010).
3). Obesitas
Beberapa menunjukkan bahwa peningkatan body mas index (BMI) merupakan faktor resiko independen inkontinensia urin. Secara teoritis peningkatan tekanan intraabdominal yang bersamaan dengan peningkatan BMI menghasilkan tekanan intravesikal yang secara proporsional lebih tinggi. Tekanan yang lebih tinggi ini menimbulkan urethral clossing pressure dan menjurus pada inkontinensia urin (SW, Jy, Kh, & et.al, 2007).
4). Menopause
Pada masa menopause, produksi hormon estrogen berkurang. Estrogen mempengaruhi fungsi ureter, uretra, serta kandung kemih.Penurunan hormon ini disebabkan oleh proses penuaan pada ovarium. Penurunan estrogen diduga ikut berperan dalam perubahan struktur dan fungsi pada dinding uretra dan kandung kemih yang dapat menyebabkan berbagai keluhan seperti inkontinensia, peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dan kesulitan berkemih lainnya. Selain itu, pengeruh estrogen menyebabkan terjadinya kelemahan pada otot-otot pengontrol proses berkemih (Suparman & Rompas, 2008).
5). Kelahiran dan kehamilan
Banyak studi menemukan bahwa wanita para memiliki prevalensi inkontinensia urin lebih besar dibandingkan dengan yang nullipara. Pengaruh dari melahirkan anak terhadap kejadian inkontinensia dapat timbul dari luka langsung pada otot-otot pelvis dan perlekatan jaringan ikat. Sebagai tambahan, kerusakan syaraf dari trauma atau ketegangan yang ada dampak berdampak pada disfungsi otot pelvis (Ichsan, 2010).
6). Kebiasaan Merokok Dan penyakit Paru Kronis
Kebiasaan merokok didentifikasikan sebagai faktor resiko independen inkontinensia urin pada beberapa studi. Salah satu dari tersebut menyebutkan bahwa baik yang perokok maupun mantan perokok tercatat memiliki rseiko 2-3 kali lipat dibanding dengan yang bukan perokok. Secara teoritis, kenaikan persisten tekanan intraabdominal yang timbul karena batuk kronis perokok dan sintesis kolagen, dapat diturunkan dengan efek antikolinergik (Ichsan, 2010).
7). Histerektomi
Istilah histerektomi berasal dari bahasa latin histeria yang berarti kandungan, rahim, atau uterus, dan ectomi yang berarti memotong. Jadihisterektomi adalah suatu prosedur pembedahan mengangkat rahim yang dilakukan oleh ahli kandungan (Friedman, Borten, & Chapin, 1998).
Histerektomi merupakan proses pembedahan untuk mengangkat uterus. Jenis histerektomi dibedakan menjadi 3 yaitu: histerektomi subtotal, histerektomi total, dan salpingoooforektomi bilateral. Histerektomi subtotal adalah proses pembedahan untuk mengangkat bagian uterus. Histerektomi total adalah proses pembedahan untuk mengangkat uterus dan serviks. Sementara salpingoooforektomi  bilateral adalah proses pembedahan untuk mengangkat tuba fallopi dan ovarium secara bilateral, atau kedua sisi. Jenis histerektomi ini dilakukan dengan indikasi malignan, jadi jika seorang individu mengalami  kanker maka tindakan histerektomi yang dilakukan yaitu histerektomi total, dan salpingoooforektomi. Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari histerektomi salah satumya adalah trauma saraf. Trauma saraf ini dapat menyebabkan kehilangan sementara tonus kandung kemih atau atoni kandung kemih (Smeltzer, 2002).
Terdapat beberapa indikasi dilakukannya histerektomi, antara lain:
a.    Ruptur uteri
b.    Perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan cara-cara yang ada. Misalnya:
1.    Atoni uteri
2.    Afibrinogenemia atau hipofibrinogenemia pada solusio plasenta dan lainnya
3.    Couvelaire
4.    Arteri uterina terputus
5.    Plasenta inkreta dan perkreta
6.    Hematoma yang luas pada rahim
c.    Infeksi intrapartal berat
d.   Pada keadaan ini biasanya dilakukan operasi Porri, yaitu uterus dengan isinya diangkat sekaligus
e.    Uterus miomatus yang besar
f.     Kehamilan janin dalma rahim dan misssed abortion dengan kelainan darah
g.    Kanker leher rahim
Histerektomi memilki beberapa jenis yang berebeda, antara lain:
a.       Histerektomi Parsial
Pada jenis ini rahim diangkat, tetapi mulut rahim (serviks) tetap dibiarkan.
b.      Histerektomi Total
Pada jenis ni rahim dan mulut rahim diangkat secara keseluruhan. Keuntungan jenis ialah ikut diangkatnya serviks yang menjadi sumber terjadinya karsinoma dan prekanker
c.       Histerektomi Dan Salfingo-ooforektomi bilateral
Histerektomi ini mengangkat uterus, mulut rahim, mulut rahim, kedua tuba falopi, dan kedua ovarium. Pengangkatan ovarium menyebabkan penderita seperti menopause meskipun usianya masih muda.
d.      Histerektomi radikal
Histerektomi ini mengangkat bagian atas vagina, jaringan dan kelenjar limfe disekitar kandungan.
Selain itu terdapat pula konsumsi obat-obat dapat mengakibatkan inkontinensia urin. Obat-obatan yang apabila dikonsumsi dalam jangka panjang dapat membuat seseorang terkena inkontinensia, obat tersebut antara lain :
1.    Obat hipertensi
Obat hipertensi jenis alpha-blocker seperti doxazosi mesylate, prazosin hidroklorida, terazosin hydrochloride beresiko mengalami inkontinensia karena obat tersebut tidak hanya bekerja untuk menurunkan tekanan darah dengan merelaksasikan dinding pembuluh darah tetapi juga merelaksasikan otot vesika urinary sehingga memungkinkan urin keluar tanpa sengaja ketika bersin, batuk, atau tertawa.
2.    Antidepresan
Golongan obat ini menghambat neurotransmitter seperti nortriptylene, amitriptyline, desipramine, benztropine, haloperidol dan risperidone yang dapat mempengaruhi elastisitas kandung kemih sehingga urin terus memasuki kandung kemih, yang menyebabkan inkontinensia.
3.    Dekongestan dan antihistamin
Obat dengan kandungan zat aktif seperti pseudoefedrin, diphenhydramine dapat memicu kontraksi sfingter uretra, menyebabkan retensi urin, yang pada wanita sering disertai dengan inkontinensia overflow mendadak.
4.    Obat penenang dan obat tidur
Beberapa obat penenang atau tidur seperti Ativan, Valium, Dalmane, Lunesta, Ambien, diazepam, flurazepam, lorazepam, eszopiclone dan zolpidem dapat menjadi pemicu terjadinya inkontinensia karena dapat memperlambat reflex sehingga kesulitan untuk mengetahui adanya sinyal untuk berkemih.

c.     Uji Diagnostik
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
1.      Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :
        Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
2.      Urinalisis
        Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah:
 .      Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.
a.    Tes urodinamik à untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
b.    Tes tekanan urethra à mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
c.    Imaging à tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
3.      Pemeriksaaan Uretrosistokopi
Digunakan untuk mengetahui mukosa kandung kemih dan uretra, serta kemungkinan adanya atrifi polip, radang, divertikel, keganasan, sekaligus ,emilai kapasitas kandung kemih (Suparman & Rompas, 2008).
4.      Intravenous Pielogram
Digunakan untuk urge inkontinensia dengan mendeteksi abnormalitas struktur uretra: penyempitan uretra, pengosongan kandung kemih tidak lengkap (Suparman & Rompas, 2008).
5.      USG (ultrasonograf)
USG digunakan untuk mengidentifikasiakn kelainan pada leher kandung kemih dan juga untuk mendiagnosa instabilitas otot detrusor (Suparman & Rompas, 2008).

d.   Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
          Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2.  Terapi non farmakologi
            Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
 .      Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
a.    Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
b.    Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
c.    Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :
1). Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
2). Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
3.  Terapi farmakologi
 .      Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
a.    Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
b.    Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
4.   Terapi pembedahan
      Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
5.   Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
a.    Pampers
        Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
b.    Kateter

  Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
c.       Alat bantu toilet
      Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

e.Pengaruh Inkontinensia Urin Terhadap Penderita
1.      Pengaruh emosional
Seringkali wanita yang mengalami inkontinens sering kali mengalami depresi karena mereka merasakan kesendirian dan merasa hina dengan dirinya. Keluarnya urin sacara tidak sengaja 
2.      Gangguan terhadap kesimpulan sehari-hari
Merasakan basah pada celana dan bau menyebabkan penderita menarik diri dari kehidupan sosial. Penderita cenderung lebih suka menyendiri dan bahkan akan berhenti dari pekerjaan yang sedang digeluti.
3.      Pengaruh Spesifik
1). Bila inkontinensia yang berat penderita memerlukan pemasangan kateter permanen, sehingga mobilitas penderita terganggu.
2). Inkontinensia membuat hidup penderita menjadi tidak bebas dan terikat dengan orang lain
3). Pada penderita yang sering mengalami jatuh dan kecelakaan. Hal ini berkaitan dengan keadaan dimana penderita tergesa-gesa untuk mencapai toilet sehingga bila tidak hati-hati bisa jatuh dan mengalami kecelakaan.

C.    ANALISIS KASUS
Berdasarkan kasus Ny. AQ dapat diketahui bahwa ia mengalami inkontinensia jenis Stress. Hal ini dapat diketahui karena ia termasuk pada obese moderet serta pekerjaannya yang sebagai pengemudi. Kedua hal tersebut dapat meningkatkan tekanan intraabdominal sehingga meningkatkan tekanan intravesikal yang akan menyebabkan tereganggangnya otot detrusor sehingga keluarlah urin.
Apabila melihat dari usia Ny. AQ, maka ia dapat dikategorikan sebagai seorang lansia. Pada pembahasan diatas diketahui bahwa pada lansia terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Hormon estrogen bekerja pada organ sasaran melalui reseptor estrogen ά dan β. Jaringan yang memilki reseptor estrogen ά dan β adalah kulit, otak, tulang, uterus, vesika urinaria, uretra, ovarium, kardiovaskuler, dan payudara.Jaringan yang hanya memiliki reseptor estrogen β adalah traktus gastrointestinal, sedangkan jaringan yang hanya memilki reseptor ά adalah hepar. Interaksi esterogen dengan reseptornya akan menghasilkan proses anabolik. Akibatnya bila terjadi penurunan estrogen terutama pada traktus urinarius perempuan menopause akan perubahan struktur dan fungsi. Estrogen dapat mempertahankan kontinensia dengan meningkatkan resistensi uretra, meningkatkan ambang sensoris kandung kemih, dan meningkatkan sensitivitas ά adreno reseptor pada otot polos uretra (Suparman & Rompas, 2008).
Hasil pemeriksaan vagina yang dilakukan oleh Ny. Aq menyatakan bahwa ia mengalmai atrofi vagina, hal ini pula merupakan salah satu dampak dari penurunan kadar estrogen akibat menopause. Dinding vagina akan menipis, dan terjadi atrofi kelenjar vagina, sehingga lubrikasi berkurang dan menyebabkan dispareuni. Estrogn mempengaruhi mukosa uretra, otot polos dan tonus alfa adrenergik.
Ny. AQ juga memilki riwayat histerektomi yang memperparah keadaannya saat ini.  Pembedahan histerektomi dapat mengakibatkan trauma lokal jaringan sekitar yang akan mengakibatkan terjadinya respon tubuh berupa edema dan inflamasi. Adanya respon tubuh tersebut akan menghambat aliran urin ke saluran kemih yang akan mengakibatkan penurunan keelastisitasan dari otot panggul dan sfingter. Penurunan keelastisitasan ini akan berakibat pada penurunan kontrol pengeluaran urin.
Berdasarkan kasus tersebut dapat dianalisis bahwa kemungkinan histerektomi yang didapatkan oleh Ny AQ adalah histerektomi total dan salpingoooforektomi bilateral karena Ny AQ menderita kanker rahim atau kondisi malignan. Pengangkatan pada uterus, serviks, tuba falopi, dan ovarium membuat tubuh Ny AQ kekurangan hormon reproduksi yang salah satunya adalah hormon estrogen. Hormon estrogen merupakan hormon reproduksi yang dihasilkan oleh ovarium, dan berfungsi untuk pembelahan sel serta perkembangan genitalia eksternal
Hal yang memparah inkontinensia urin pada Ny. AQ ialah pola hidupnya yang sering mengkonsumsi minuman berkafein. Kefein merupakan zat adiktif dalam kopi. Kefein dapat menimbulkan kontraksi otot polos (otot detrusor) sehingga mendesak urin untuk keluar. Selain itu, kefein merupakan diuretik yang mengakibatkan penurunan reabsorpsi air yang berakibat pada meningkatnya volume urin.
Salah satu penatalaksanaan yang dapt diberikan kepada Ny.AQ adalah dengan terapi estrogen dan progesteron (terapi sulih hormon). Terapi sulih hormon atau hormone replacement therapy merupakan terapi menggunakan hormon yang diberikan untuk mengurangi efek defisiensi hormon. Pemberian hormon (estrogen, progesteron, atau keduanya) pada wanita pascamenopause atau pada wanita yang ovariumnya telah diangkat, untuk menggantikan produksi estrogen oleh ovarium.  Namun, pada kasus yang dialami oleh Ny. AQ, ia belum mendapatkan terapi hormone. Hal ini mengakibatkan adanya atrofi pada genitalia eksternanya dan juga mempengaruhi seksualnya.




ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.AQ
DENGAN INKONTINENSIA URIN

I.     PENGKAJIAN
A.    Identitas
Nama                            : Ny. AQ
Umur                            : 56 tahun
Jenis Kelamin                : Perempuan
Pekerjaan                      : Sales dan Terlibat dalam aktivitas mengemudi
B.     Data Yang Diperoleh
1.    Ny. AQ mengalami gangguan berkemih (urgency) selama 5 bulan berhubungan dengan inkontinensia
2.    Ny. AQ tidak mengalami Dysuria, hematuria, fecal urgency atau fecal incontinence
3.    Tidak ditemukan adanya infeksi pada vesika urinaria
4.    Ny. AQ tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu secara teratur
5.    Ny. AQ tidak mengalami gangguan neurologis baik lokal maupun general
6.    Ny. AQ memilki riwayat histerektomi , namun ia belum mendapatkan terapi hormon pengganti
7.    Ny. AQ belum aktif secara seksual
8.    Ny. AQ mengkonsumsi kopi dan minuman bersoda berkafein unutuk menghilangkan rasa kantuknya. Ia jarang minum air putih
9.    Pada pemeriksaan fisik pada abdomen terdapat obese moderet
10.     Pada pemeriksaan vagina menunjukkan adanya atrofi pada genitalia eksterna dan jaringan vagunal
11.     Tidak ditemukan adanya enterocele, vault prolaps, atau rectocele
12.     Kemampuan untuk mengontraksikan otot pelvis lemah dan tidak bisa mempertahankannya.
C.    Analisis Data
Simptom
Problem
Etiologi
DO:
-Ny. AQ mengalami obese moderet
-Memiliki riwayat histerektomi
-Terjadi atrofi genitalia eksterna akibat tidak dilakukannya terapi hormon
DS:
Ny.AQ menagatakan gangguan berkemih
Inkontinensia Stress
-Tekanan intraabdominal tinggi
-kelemahan otot dasar panggul
DO:
Riwayat histerektomi
DS:-
Harga Diri Rendah: Situasional
Gangguan Citra Tubuh

D.    Diagnosa Keperawatan
1.    Inkontinensia stress b.d tekanan intraabdominal tinggi dan kelemahan otot panggul
2.    Harga diri rendah b.d gangguan citra tubuh

E.     NCP
NOC
NIC
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan pasien mampu mengontrol eliminasi urin.
1.   Latihan otot dasar panggul (Kegel exercise)
2.   Perawatan inkontinensia urin
3.   Lakukan Bladder Training
4.   Batasi konsumsi kafein
5.   Ajarkan pasien memakai obat-obatan oral/topikal (antikolinergik)
6.   Bantu pasien unutuk memakai pembalut yang sesuai untuk jangka pendek




D.   KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Ny. AQ mengalami inkontinensia urine jenis stress. Inkontinensia urine merupakan ketidakmmapuan untuk mengontrol pengeluaran urin. Inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi inkontinensia urin stress, overflow, urge, dan fungsional. Penatalaksanna yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pada Ny. AQ ia;ah dengan terapi hormon. Hal ini dikarenakna Ny. AQ sudah manopause dan juga memilki riwayat histerektomi yang mengakibatkan penurunan produksi estrogen . Selain itu, Ny AQ perlu membatasi konsumsi minuman berkafein dan bersoda unutuk mengurangi jumlah volume urin. Karena kafein merupakan diuretik alami bagi tubuh yang dapat menurunkan reabsorpsi cairan tubuh.

E.    REFERENSI
Braunwald, e. (2000). Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, edisi 13, volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Friedman, Borten, & Chapin. (1998). Seri skema diagnosa dan penatalaksanaan ginekologi edisi 2. JakartaBina Rupa Aksara.
Ichsan, B. Z. (2010). Inkontinensia urin. Surakarta: FK UNS.
Meneffe SA, W. L. (2002). Inkontinence, Prolaps and disorder of the pelvic floor, in: Berek JS< Adashi EY, Hillard PA, Novak's Gynecology. 12th ed. Novak's Gynekology , 654-84.
Smeltzer, s. C. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.
Suparman, E., & Rompas, J. (2008). Inkontinensia urin pada perempuan menopause. Maj Obstet Ginekol Indones , XXXII (1), 48-54.
SW, B., Jy, K., Kh, R., & et.al. (2007). Relationship of urodynamic parameters and obesity in women with stress urynary incontinence. N EngJ Med , XXI.